19 Feb 2012

Kisah Salman Al-Farisi Yang Terulang

Show me the meaning of being lonely.....

Lantunan suara lagu lawas terdengar di bus AC dengan rute memutari seluruh kota gudeg ini. Sebentar lagi gerbang kampus teduh itu akan nampak. Seorang lelaki dengan postur rata-rata orang Indonesia berdiri di dalam bus tersebut. Ia tak berseragam pegawai bus tersebut, tapi kemeja rapi dan celana bahan menjadi identitas bahwa dirinya adalah penumpang bus tersebut. Ah, satu lagi, sebuah jas warna coklat muda yang dikenali sebagai jas almamater kampusnya telah menunjukkan identitasnya sebagai mahasiswa. Sebuah status yang istimewa di kalangan masyarakat Indonesia.

Sebuah nada pesan singkat berbunyi, lelaki itu menyadari bahhwa nada tersebut berasal dari ponselnya. Bersegera diraihnya tas ransel yang ia sampirkan di keduua bahunya, mencoba merogoh sebuah kantong kecil di dalam tasnya untuk mendapati sebuah telepon genggam. Dan yap, dalam beberapa detik ia sudah menekan beberapa tombol dalam ponsel tersebut. Sebuah ponsel yang tampaknya dikhususkan bagi petualang. Apakah tokoh kita kali ini adalah petualang?

Sudah di mana? Aku di mesjid kampus Buana.

Begitu pesan singkat yang didapati lelaki di atas bus. Ia tak sempat menjawab karena ternyata dirinya sudah ada di halte kecil depan kampus yang ditujunya. Segera dilangkahkan kaki kokohnya keluar dari bus dengan pintu otomatis itu. Ia mengedarkan pandang sekilas sebelum melanjutkan langkah menuju mesjid kampus, tempatnya akan bertemu dengan si pengirim pesan singkat.

“Ndre!” panggil suara lelaki lain ketika ia baru saja melongokkan kepalanya di depan gerbang mesjid. Segera saja lelaki yang dipanggil tadi bergegas menuju rekannya.

“Bimo, maaf, tadi busnya lama,” ucap lelaki yang baru datang. Bimo hanya tersenyum sambil mengulurkan tangannya.

“Ndak apa-apa, assalamu’alaikum,” sahut Bimo sambil tersenyum.

“wa’alaikumussalam, Bim. Hehehe, hari ini kita diskusi apa?” tanya Andre sambil menjawab salam serta uluran tangan Bimo.

“Tentang Salman Al-Farisy,” jawab Bimo akhirnya. Di tangannya sudah ada buku karangan penulis favoritnya.
“Yang idenya menggali parit itu tho?”

“Ya, tapi kali ini tentang sisi lain seorang Salman Al-Farisy. Pernah tahu gimana Salman nikah?”

“Wah, aku yo ndak tahu, Bim.”

“Oke oke tak share sedikit yo. Ini kisah yang juga tenar di kalangan jomblo-jomblo, Ndre. Tentang proses Salman Al-Farisy melamar salah satu putri kalangan Anshar,” Bimo mulai menjelaskan. Sementara Andre meletakkan jas almamaternya di pangkuan kaki bersila itu.

“Waktu itu Salman mikir wes waktunya nikah. Nah, Salman ini punya niatan melamar salah satu warga Madinah dari kalangan Anshar. Kamu tahu, tho, Ndre, sopo wae sing kalangan Anshar?”

“Iya, ngerti. Sing warga Madinah itu tho?” ucap Andre. Bimo tersenyum dan mengangguk.

“Pinter. Nah, Salman sadar betul kalau dia butuh orang yang ngerti cara ngelamar di kalangan Anshar. Yo, kita pernah denger di kajian tho kalau adat budaya juga mesti diperhatikan biar ndak ada yang tersinggung? Nah, begitupun Salman ini, terus karena ada warga yang dipersaudarakan, Salman akhirnya pilih saudara itu, Abu Darda. Inget ndak siapa Abu Darda?” tanya Bimo lagi, memastikan bahwa Andre masih menyimaknya.

“Aku kok malah inget sama anggota komunitas myQuran sing jenenge Abu Darda yo? Hehehe” sahut Andre polos. Bimo tahu bahwa Andre adalah anggota komunitas muslim itu, sebuah komunitas yang dipandangnya memang independen sehingga wajar bila banyak peminatnya.

“Hah, yo weslah. Balik lagi, Jadi Salman Al-Farisy ini minta ditemani Abu Darda untuk melamar ke salah satu keluarga di Madinah. Dan sampailah mereka yang akhirnya disambut baik kepala keluarga yang dimaksud. Pakai bahasa Bani Najjar, Abu Darda melamar putri keluarga tersebut untuk Salman. Kemudian sang ayah tanya jawabannya ke putri mereka.”

“kok mesti anaknya yang jawab?”

“Yo mesti, lha wong yang mau jadi manten itu putrinya kok.”

“Oh iya, ya, hehe. Lanjut,”

“Yang jadi wakil jawab itu ibunya, yang ternyata minta maaf karena menolak lamaran Salman, tapi kalau Abu Darda mau melamar untuk dirinya sendiri, putri mereka bersedia mengiyakan,” lanjut Bimo disertai kerutan di alis wajah Andre.

“weh weh, ndak beres iku, kok malah Abu Darda sing lamaran,” Andre menyampaikan protesnya.

“Lha, iku sejarahe kok. Kamu tahu, Ndre,  Salman njawab apa?” dilihatnya Andre menggeleng kemudian Bimo melanjutkan,”Allahu Akbar! Mahar dan segala persiapan akan saya berikan pada Abu Darda dan saya siap jadi saksinya.”

“Kok bisa?”

“Ya, itulah Ndre kalau tujuan sebenarnya bukan cinta manusia semata.” Sahut Bimo. Mereka terdiam. Andre baru ingat bahwa ia sedang mengajukan keinginan pada seorang perempuan lewat perantaranya, Bimo.

“Bim, sebenarnya…” ucapan Andre terputus. Ia merasa belum siap melanjutkan ucapannya, khayalannya, imajinasinya. Seolah mengerti maksud sahabatnya, Bimo tersenyum.

“Ndre, maaf.” Dua kata dari Bimo seolah menjawab gundahnya. Ya, dia sadar bahwa kisah Salman Al-Farisy berulang padanya. Juga terjadi pada Bimo yang merupakan sahabatnya, guru ngajinya, teman diskusinya.

“Aku ke dalam dulu, Bim,” ucap Andre. Nada suaranya agak serak. Bimo sudah yakin reaksi sahabatnya sehingga ia tak menahan Andre untuk meninggalkan tempat mereka. Bimo mengangguk membiarkan Andre memasuki ruang utama mesjid kampus.

Ornamen indah di dinding mesjid tidak mampu menghibur Andre. Raut wajahnya agak berubah dari beberapa waktu lalu. Ada sesak yang mengisi dadanya. Rani, perempuan ayu yang disukainya dan ia ajukan keinginan menikahinya, telah menolak maksud baiknya dan memilih Bimo.

Andre, lelaki kokoh itu tampak ringkih kini, terduduk di salah satu sajadah mesjid kampus teduh, berusaha mencari keteduhan dengan perenungan dan pengaduannya.

-sya- penulis tamu catatan r10

Catatan:

ndak: tidak
wes: sudah
sopo wae sing kalangan Anshar: siapa saja yang (termasuk) kalangan Anshar
jenenge: namanya
manten: pengantin
iku: itu